Apa aku benar-benar menginginkannya?

Eleazar Evan Moeljono
5 min readSep 26, 2024

--

Saat melihat Letter of Acceptance dari Calvin Theological Seminary, hatiku tersentuh. “Akhirnya kuliah lagi. Akhirnya kuliah Teologi.”

Proses persiapan studi aku lakukan dengan sukacita, mengharapkan pengalaman transformatif selama tiga tahun di Amerika. Jika kamu ingat, sejak pertengahan 2023 aku sudah “berpamitan” ke beberapa rekan, baik di pekerjaan maupun pertemanan, karena aku sungguh mendambakan kembalinya aku ke bangku perkuliahan untuk memenuhi panggilan TUHAN yang aku dengarkan.

Namun secara beruntun aku menjumpai belokan yang harus aku tempuh di perjalanan hidup ini.

Detour. Photo by Jamie Street on Unsplash

Belokan 1: Pendanaan

Beasiswa yang diberikan kampus terlihat sangat besar bagiku, orang Indonesia dari golongan pendapatan menengah. Mensyukuri pemeliharaan Allah lewat beasiswa adalah hal paling kecil yang bisa aku lakukan, selain memperjuangkan pendanaan tambahan karena masih ada komponen pembiayaan yang belum tercakup dari beasiswa kampus.

Syukur, TUHAN mempertemukanku dengan orang-orang baik yang memberi opsi: sponsor dari institusi di Indonesia, sponsor dari filantropis di Singapura, serta kemungkinan beasiswa parsial pemerintah Indonesia. Semua opsi aku pelajari, bahkan sampai dijalani. Aku berkesempatan menjalani prosedur untuk mendapatkan sponsor dari institusi di Indonesia tersebut.

Keadaan berbalik ketika di pertengahan Juni 2024, aku mendapat kabar bahwa ada pertimbangan yang aku tidak bisa ceritakan di sini yang menyatakan bahwa aku tidak direkomendasikan untuk bekerja di institusi tersebut pasca studi S2-ku. Seketika mimpi menapaki perjalanan di Amerika tahun ini sirna karena aku tahu aku tidak ada biaya. Namun anehnya, TUHAN mempertemukan aku dengan belokan kedua tidak lama kemudian.

Belokan 2: Penjurusan

Awal Juli 2024, sembari mencari peluang sponsor lain, aku mengikuti Retreat Guru Nasional kolaborasi STT SAAT dengan MPK Indonesia. Berkumpul dengan 300 pendidik dan pemimpin dari seluruh Indonesia memungkinkan aku untuk melihat lanskap pendidikan Kristen di Indonesia secara sekelibat, sembari hati kecil berdoa, “TUHAN, apa yang bisa aku kerjakan?”

Salah satu pembicara retreat tersebut adalah Ibu Sarinah Lo, seorang pendidik yang memperoleh Master of Education di Calvin University (institusi saudara dari Calvin Theological Seminary). Bersama dengan suaminya, beliau menanyakan rencana studiku.

“Ezer, kalau kamu memang terpanggil ke pendidikan, mengapa tidak ambil Master of Education saja?”

Iya juga ya.

Panggilanku jelas, koneksiku luas. TUHAN mempertemukan aku dengan banyak pendidik dan pemimpin pendidikan (baik Kristen maupun umum, swasta maupun pemerintah) yang sangat terbuka untuk diskusi dan kerja sama. Bahkan, dengan mudah aku bisa ngobrol dengan tim penyusun aplikasi Platform Merdeka Mengajar karya GovTech Edu yang sempat ramai dibicarakan guru-guru yang kaget dengan cara kerja yang baru ini.

Sudah sejak 2020 aku mempersiapkan diri masuk ke program Master of Education di Amerika Serikat. Selain kemajuan negara yang ditawarkan, aku terkesima dengan cara mereka memperlakukan pemimpin pendidikan mereka: dengan penuh hormat namun tidak mendewakan, mengukur keberhasilan dari pencapaian kolektif selama menjabat (ini pernah menjadi salah satu tulisanku untuk tugas American Institutions and Culture di Boston University Metropolitan College, 2021).

Ada banyak kemungkinan yang akan terbuka jika aku berkesempatan studi di institusi terbaik dunia:

  • Jejaring alumni, mahasiswa, dan dosen yang luas dan berdampak nyata.
  • Kekayaan pengetahuan di perpustakaan.
  • Mutakhirnya peralatan penelitian yang bisa digunakan.
  • Kemungkinan bekerja sama dengan organisasi nasional dan global untuk membuat perubahan yang lebih luas.
  • ..dan masih banyak lagi!

Namun,

Hari ini aku menyusun tulisan ini untuk menjadi refleksi pribadiku dalam menyongsong studi penuh belokan ini: Apa aku benar-benar menginginkannya?

Menjalani studi di kampus top memang terdengar menyenangkan, namun apakah aku siap menerima ketidaksempurnaan kampus saat aku berada di dalamnya?

Memiliki gelar Master of Education memang terlihat mentereng di mata banyak orang, namun apakah aku siap menjalani konsekuensi di belakangnya?

Menjadi bagian dari jejaring alumni kampus ternama memang terasa membanggakan, namun apakah aku siap menjadi rekan satu lingkungan dengan mereka yang secara jelas berbeda denganku? (Aku dari ekonomi menengah, alumni kebanyakan dari ekonomi atas, atas banget).

Satu hal yang aku bisa simpulkan dari refleksi kali ini adalah: aku memang tidak siap menjalani ini dengan segala sisi gelap dan konsekuensi yang akan dihadapi. Aku mungkin tidak lolos pendaftaran atau pendanaan jika suatu hari aku melewatkan komponen apapun saat proses seleksi. Aku mungkin akan menyesali keputusanku meninggalkan pekerjaan dan kembali mengulangi statusku sebagai pelajar.

Namun, satu hal yang benar-benar aku inginkan adalah mengerti kehendak TUHAN dalam hidupku dan menjalaninya sampai akhir.

Jika studi lanjut memang adalah kehendak-Nya, terjadilah. Proses pendaftaran dan pendanaan akan Dia sediakan, sebab ada agenda lebih besar yang Dia sudah rencanakan di balik kehidupanku yang singkat ini. Pekerjaan pasca studi akan Dia arahkan, sebab ada kebutuhan yang lebih besar yang Dia tahu harus diupayakan sehingga ada masyarakat yang merasakan dampaknya secara nyata.

Pasti, aku hanya akan jadi bagian kecil dari sebuah roda besar transformasi pendidikan yang sudah Dia rindukan terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal yang membuatku terharu adalah, bahkan untuk satu bagian kecil ini saja, TUHAN mau memperhatikan kebutuhannya dengan begitu rupa, bahkan ketika aku yang kecil ini salah tangkap maskud-Nya dalam kehidupan yang singkat ini.

Izinkan aku berdoa untukmu, wahai pembaca, supaya kamu juga merasakan pemeliharaan TUHAN untuk kamu yang (juga) kecil di tengah roda besar agenda TUHAN untuk dunia abad 21.

Kiranya kita boleh mengerti apa yang Dia kehendaki dan Roh Kudus memampukan kita menjalaninya sampai akhir.

Setialah,
Setialah.

--

--