Bangkitnya Literasi Indonesia Dimulai Dari Urusan Perut
Dalam seminggu, aku mengunjungi empat toko buku di Kota Malang dengan spesialisasi berbeda:
Periplus
Menyediakan buku dan majalah impor yang fresh dikirim secara langsung dengan penataan lokasi yang atraktif, Periplus hadir di Malang dengan awal mula yang rendah hati — menempel di Ranch Market Kawi.
Secara garis besar, aku mengamati pengunjung di Periplus adalah mereka yang sudah tahu apa yang mereka butuhkan — mengingat harga dan bahasa pengantar buku impor yang tentu berbeda dengan buku lokal.
Saat aku datang, mereka menawarkan promo untuk pembawa kartu pelajar (mahasiswa S2 pun masih dapat potongan! 😁). Kendati demikian, sepertinya masih belum banyak yang tahu mengenai info potongan ini — dan belum tentu saat sudah dipotong, harganya masih dalam budget.
Karmelindo
Toko buku Katolik yang berafiliasi dengan Penerbit Karmelindo. Tidak hanya menjual buku-buku terbitan Karmelindo sendiri, mereka juga menyediakan buku-buku lain beserta perlengkapan ibadah Katolik.
Satu hal yang menarik, di depan pintu terpasang poster “Malam Puisi” yang secara sekilas menjelaskan padaku bahwa mereka mengadakan acara apresiasi puisi disertai cangkrukan yang menyenangkan dan beraneka ragam kegiatan lainnya.
One-Eighty
Toko buku Kristen yang dimiliki secara personal oleh seorang Kristen di Malang. Dahulu toko ini bernama Toko Kristen Visi, namun berganti nama saat berganti manajemen.
Meski aku sangat bersemangat mendatangi toko buku ini, sayang situasi menggambarkan bagaimana kebanyakan orang Kristen membaca saat ini. Sebagai sebuah refleksi bagi kami orang Kristen sendiri: pemikran pribadiku, jumlah pengunjung dan pembeli buku menunjukkan korelasi terhadap minat baca. Sayangnya, jumlah pengunjung dan pembeli buku di toko ini tidak menunjukkan kabar yang menggembirakan.
Belum lagi saat aku bertanya terkait penerbit, kedatangan buku baru, dan ekosistem percetakan buku Kristen di sana: banyak penerbit yang saat ini sudah gulung tikar. Buku baru hanya akan menyediakan tiga eksemplar tiap judul, mengindikasikan sedikitnya orang yang membeli buku di sana.
Sebagai akibatnya, harga buku menjadi mahal — mengingat biaya cetak akan sangat berkurang apabila dicetak banyak, dan kenyataan mengatakan sebaliknya.
Gramedia
Kita semua kenal Gramedia. Toko buku legendaris Indonesia ini sudah banyak membawa perubahan literasi di masyarakat luas. Tidak hanya menyediakan buku, mereka juga menjual alat tulis dan kantor, alat musik dan olahraga, mainan anak, dan sembilan kelompok barang lain yang beraneka macam.
Sayangnya, sama seperti kondisi toko buku lainnya, aku mendapati toko ini tidak seramai restoran dan toko serba-serbi internasional seperti Miniso dan KKB.
Kenapa ya?
Dimulai dari Perut
Sebagaimana judul artikel ini ditulis, aku menyadari bahwa bisnis bicara tentang menjawab permasalahan. Masalah apa yang dihadapi manusia akan dicari solusinya lewat bisnis. Nah, masalah ini dikategorikan oleh Maslow ke dalam lima level kebutuhan yang bisa dilihat di bawah ini.
Menurut Maslow, kebutuhan perlu dipenuhi sebelum kita naik ke kebutuhan di atasnya. Itulah mengapa restoran lebih banyak ramai ketimbang toko buku — karena makanan adalah kebutuhan fisiologis!
Untuk itulah aku mengusulkan kepada manajemen toko buku untuk memikirkan ulang model bisnis yang mereka punya.
- Apakah orang masih membaca buku? Jika iya, bagaimana mereka suka membacanya?
- Apa yang membuat orang rela membayar untuk membeli buku?
- Apa keunggulan tidak adil (unfair advantage) yang dimiliki toko buku yang bisa dikonversi jadi kekuatan bisnis?
Mengacu pada kanvas bisnis yang aku pelajari saat bersama dengan XL Axiata Future Leaders, aku menyadari bahwa aspek-aspek tadi adalah hal yang penting untuk dipikirkan manajemen toko buku masing-masing.
Sebuah Mimpi
Aku bermimpi bahwa suatu hari Gramedia, Periplus, Karmelindo, One-Eighty, dan toko-toko buku lainnya bertransformasi menjadi episentrum literasi masyarakat: entah dengan cara menjual buku, meminjamkan buku, mendiskusikan buku, menyusun buku, atau apapun!
Belajar bahwa industri selalu berubah akibat disrupsi, toko buku perlu mempersiapkan diri mengubah model bisnis mereka. Bisa jadi, ancaman toko buku bukanlah digitalisasi seperti yang sudah dibahas satu dekade terakhir. Bisa jadi, kompetitor toko buku bukanlah situs-situs online penjual buku — bisa jadi itu berupa Indomaret yang sekarang punya cafe, atau warung angkringan yang banyak menjadi markas cangkrukan masyarakat?
Seperti halnya Facebook yang pada tahun 2012 mengakuisisi Instagram. Saat itu banyak orang mempertanyakan keputusan gila Facebook yang membeli sebuah media sharing gambar digital — ga nyambung!
Nyatanya, 12 tahun kemudian kita melihat Facebook berubah— malah sekarang banyak menjadi marketplace orang berbelanja barang personal. Bentuk media sosial yang ditawarkan Facebook beralih ke Instagram, dan bentuknya tidak lagi gambar, melainkan video.
Apa jangan-jangan, model bisnis jual buku yang dimiliki toko buku perlu diambil alih unit bisnis lain, dan toko buku melebarkan sayapnya dengan model bisnis baru?
- Jual makanan dan minuman, seperti Point Coffee Indomaret?
- Workshop menulis buku?
- Co-working space?
- Tempat baca dengan model bisnis membership seperti gym?
- Pinjam buku seperti perpustakaan?
Meskipun terus berubah, manusia tetap sama
Perubahan selalu terjadi, namun tidak ada yang baru di bawah matahari.
Peradaban Mesir yang kita anggap kuno sejatinya adalah sebuah peradaban modern pada masanya yang secara sukses membangun budaya baru pada masa itu. Bangunan, seni tulisan, ilmu pengetahuan, dan semua unsur budaya lainnya sampai sekarang masih mempengeruhi kehidupan manusia, terkhusus di timur tengah.
Peradaban Yunani yang sudah lama runtuh pun sampai sekarang masih kita diskusikan nilai-nilainya di kelas filosofi. Banyak prinsip praktis di zaman ini berangkat dari pemikiran mendasar ratusan tahun yang lalu.
Peradaban Amerika yang saat ini menunjukkan penurunan (terlihat dari menurunnya antusiasme masyarakatnya dalam berpartisipasi dalam politik, tren budaya yang mengarah ke Asia Timur, serta kiblat ekonomi global) juga sampai saat ini memberi pengaruh besar dalam berputarnya keuangan kita, bahkan di level lokal.
Dari ketiga kasus ini, aku simpulkan bahwa ada hal-hal yang timeless dan borderless, nilai-nilai mendasar dan prinsip-prinsip yang berlaku di segala zaman dan tempat, yang dapat mempengaruhi manusia.
Ilmu pengetahuan terbukti dapat bertahan dan terus diwariskan dari generasi ke generasi, terlepas dari media penyampaannya. Tertulis maupun verbal, ilmu pengetahuan tetap akan tidak tergilas zaman.
Toko buku adalah toko ilmu pengetahuan. Entah bagaimana caranya, toko buku perlu menemukan media baru yang tepat untuk meneruskan nilai-nilai kehidupan yang (barangkali) mampu mengubahkan suatu zaman.
Siapa sangka bahwa suatu hari ada pemimpin Indonesia yang memperbaiki keadaan di masa depan karena sejak mudanya dia selalu membaca (atau mendengar, menulis, membicarakan) ilmu pengetahuan yang penting dan bermakna.
Kepada manajemen toko buku di Indonesia,
Nasib peradaban Indonesia salah satunya ada di tangan Anda. Kegigihan dan ketajaman berpikir tim Anda dalam melihat potensi mempengaruhi bagaimana anak-anak, remaja, pemuda, orang dewasa, dan lansia dapat mengakses ilmu pegetahuan.
Nasib negara Indonesia di kancah global tergantung bagaimana Anda mengenalkan dan memasarkan ilmu pengetahuan: asyik atau membosankan, mahal atau affordable, eksklusif atau komunal — semuanya perlu dipikirkan, terkhusus oleh Anda, yang dipercaya menjadi pembuat perubahan dari dalam perusahaan Anda.
Selamat berubah!