Kepemimpinan Berbasis Relasi

Eleazar Evan Moeljono
4 min readAug 25, 2023

--

Photo by Duy Pham on Unsplash

Setiap orang ingin dikenal dan dikenang.

Beberapa kali saat saya berinteraksi dengan murid-murid, raut wajah mereka seketika berubah canggung ketika saya menanyakan, “Siapa namamu?” setelah percakapan 15 menit di kantin.

Mungkin yang ada di benak mereka adalah: “Masa iya, sudah ngobrol 15 menit ternyata belum tahu namaku?”

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya.

Bersyukur sekali kedatangan saya di SKL bebarengan dengan masa bakti Ms Tia, English Teacher di SD Kristen Lentera Ambarawa. Kami belum pernah bertemu sebelumnya, namun kesamaan panggilan membuat kami jadi akrab dan memahami satu sama lain.

Ms Tia bukan sarjana pendidikan. Pengalaman beliau sebagai guru di sekolah sebelumnya membuktikan bahwa beliau memang berkomitmen untuk mengajar. I’d say she’s an educator at heart.

Kisah pertemanan kami dimulai ketika suatu hari Ms Tia kehilangan murid yang kabur dari kelas TeachCast. Beliau berkata, “Mbek-mbek (meniru suara domba)-ku hilang.”

Photo by Biegun Wschodni on Unsplash

Sejak itu kami menyebut murid-murid kami “mbek” dan menertawakan tingkah lucu mereka di sekolah. Mulai dari yang imut dan jenaka sampai yang bikin garuk-garuk kepala, semua kami lihat sebagai “mbek” tersayang.

Satu hal yang menarik dari cara pandang Ms Tia adalah pada dalam setiap percakapan sore hari menjelang pulang, kami bisa dengan spesifik mengingat nama dan aktivitas anak. Hal ini tidak akan mungkin terjadi apabila kami tidak “mengenal domba-domba”.

Keberadaanmu berarti.

Tangisan anak-anak tadi bukan tanpa sebab.

Secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk takut ditinggalkan. Lulusan Psikologi University of South Florida, Lisa Fritscher, menjelaskan ketakutan akan ditinggalkan sebagai ketakutan yang berlebihan namun tidak beralasan bahwa orang yang dicintai akan meninggalkan diri secara fisik dan/atau emosional. Ketakutan akan ditinggalkan adalah fenomena kompleks yang dapat berasal dari berbagai pengalaman perkembangan, termasuk kehilangan dan trauma.

Banishment of Adam and Eve from the Garden of Eden (Genesis 3).

Saya jadi teringat bagaimana leluhur kita semua dahulu juga memiliki pengalaman traumatis di awal penciptaan dunia ini. Akibat dari melanggar perintah TUHAN, Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden. Jika membayangkan sebagai Adam dan Hawa, saya mungkin akan tenggelam dalam ketakutan akan ditinggalkan tadi karena tidak lagi bisa tinggal berdampingan dengan Sang Pencipta. Alhasil, menurut saya wajar jika sekarang kita semua memiliki ketakutan akan ditinggalkan ini secara generatif.

Loncat jauh ke masa kini, semakin banyak orang yang memiliki isu kecemasan dan depresi di saat relasi manusia dibuat semakin mudah di media sosial. Paradoks: semakin banyak jejaring yang dibuat dalam berelasi di masa kini justru berkorelasi dengan kecemasan, depresi, dan tekanan psikologis (Keles, 2020). Dopamin yang disuguhkan di media sosial justru semakin membuat otak terikat dan candu, sehingga sukar berfungsi sebagaimana mestinya. (Macit, 2018)

Melihat realita ini mendorong pemikiran saya terkait peran pemimpin: bagaimana seorang pemimpin mampu menolong anggotanya untuk menyadari bahwa keberadaannya berarti?

Seperti yang saya bahas di tulisan sebelumnya, pemimpin berperan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan anggotanya. Kebutuhan eksistensial manusia akibat dari “pembuangan” Adam dan Hawa serta adiksi sosial media (dan lebih banyak faktor lainnya) menjadi sangat berpengaruh dalam kerja tim. Akan menjadi omong kosong apabila pemimpin menutup mata akan kebutuhan ini sementara kebutuhan eksistensial tidak terpenuhi.

Lantas, apa yang bisa seorang pemimpin kerjakan?

Mari kita kembali tengok Ms Tia.

Dari 12 kelas yang diajar, Ms Tia memiliki daftar nama anak satu-persatu yang tidak hanya digunakan untuk mendata nilai hasil belajar, tapi juga sebagai daftar doa. Suatu hari Ms Tia cerita pada saya, bahwa nama anak-anak ini tidak hanya ditulis di kertas tersebut, tapi juga di hati Ms Tia.

Ms Tia berharap anak-anak menyadari bahwa mereka berarti, mereka berharga. Itu mengapa menjelang akhir masa baktinya sebagai guru Bahasa Inggris di Lentera, beliau menitipkan beberapa nama secara spesifik.

“Titip si A ya, dia di kelas suka begini.”

“Kalau di kelas 5, nanti ada si B yang sukanya begini. Tenang aja, kalau diperlakukan dengan cara begini dia mau kok diatur.”

“Nanti si C akan perlu bimbingan dari teman-temannya. Titip dia ya, supaya tetap bisa bertumbuh sama teman sekelasnya.”

Pengenalan pemimpin akan orang yang dipimpinnya pada akhirnya membuahkan hasil. Terlihat dari bagaimana tangisan terpecah berminggu-minggu saat Ms Tia mengumumkan kepergiannya di kelas. Setiap kelas merasa kehilangan sosok “gembala yang mengenal domba-dombanya”.

Banyak orang tua bertanya, “Tadi di sekolah ada apa, kok anak saya tidak mau makan?”

Di situ saya belajar, bahwa Ms Tia memastikan anak-anak sadar bahwa keberadaannya berarti.

Berarti karena Sang Pencipta.

Fakta bahwa setiap orang sudah jatuh dalam dosa membuat harapan untuk seorang pemimpin dapat menjalin relasi yang baik dengan anggotanya seperti mencari jarum di tengah jerami.

Harus diakui bahwa seberapapun hebat seorang pemimpin, sudah pasti dia tidak sanggup memenuhi semua kebutuhan dengan kekuatannya sendiri.

Itulah mengapa sangat penting untuk seorang pemimpin mendekat kepada Sang Pencipta yang Maha Kasih, melihat seperti Bapa melihat, mendengar seperti Bapa mendengar. Sehingga ketika memimpin, seseorang tidak sedang “mengosongkan” tangki kasih dalam dirinya sendiri, melainkan menyalurkan kasih Bapa melalui kepemimpinannya.

--

--