Memimpin Manusia Seutuhnya
--
Kontestasi presidensial di Indonesia sudah di depan mata.
Kurang dari enam bulan sejak tulisan ini dipublikasikan, kita akan mengetahui siapa yang akan memimpin negeri ini dari Ibukota Nusantara yang baru di Kalimantan.
Siapapun orang yang fotonya terpampang di atas papan tulis kelas nanti tentu kita harap untuk bisa mengarahkan kita kepada Indonesia yang saat ini kita sama-sama nantikan: maju.
Kemajuan suatu negara disepakati untuk diukur secara kuantitatif melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan; dan kehidupan layak. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sejak 2016 Indonesia beralih statusnya dari negara dengan IPM sedang ke tinggi. Dalam dua belas tahun terakhir, kita berhasil menurunkan persentase daerah kategori IPM rendah dari 12% menjadi 0% dan menambah 6% daerah dengan IPM sangat tinggi. Data ini menunjukkan kepada kita bahwa kemajuan bangsa kita already but not yet, sudah mengarah ke sana tapi belum sampai.
At least we’re progressing, right?
Progres ini tidak akan mengarah ke mana-mana tanpa arahan seorang pemimpin.
Pak Happy Laluba, gembala sekolah sekaligus mentor saya di Sekolah Kristen Lentera Ambarawa, selalu menekankan pentingnya peran seorang pemimpin dalam mengarahkan tim kepada tujuan. Beliau gemar menggaungkan istilah vision casting kepada kami. Secara sederhana, vision casting adalah upaya pemimpin ‘menuangkan’ tujuan kepada tim sehingga semua bisa bergerak bersama ke arah tujuan tersebut.
Sebagai contoh, di awal tahun 2022 kami sering mendengar istilah ‘memperlambat tempo’ dalam obrolan santai kami di kantin sampai diskusi serius di ruang rapat. Ketimbang meminta kami untuk memberi lebih banyak reaksi dan akselerasi, Pak Happy memilih untuk menunjukkan bahwa arah yang kami perlu tuju justru dengan menikmati perjalanan seperti sedang sight-seeing tour. Hal ini dipertegas dengan cara beliau merespons pada masalah, pekerjaan harian, serta diskusi di ruang rapat: semuanya dibalas dengan perlahan dan tenang.
Salah satu gagasan menarik yang membuat kami tersadar adalah ketika setiap jam 1 siang bel sekolah berbunyi tanda kami perlu istirahat dengan sengaja selama lima menit. Kami menyebutnya rest area.
Berdiam diri.
Tidak bekerja.
Tidak bersuara.
Memejamkan mata sembari bersyukur, “Terima kasih untuk hari ini, masih ada dua jam lagi untuk dijalani.”
Sebagai akibatnya, hari ini (setahun kemudian) setelah kami mempraktikkan hal tersebut, kami mampu berpikir dengan lebih jernih dan bekerja dengan lebih rileks. Semuanya dapat diselesaikan, tidak lagi beralasan “tidak ada waktu” atau “beban kerja terlalu berat” karena ada deliberate rest yang disepakati setiap jam 1 siang tadi.
Itulah salah satu bentuk vision casting yang berhasil dilakukan oleh Pak Happy di sekolah kami.
Lihatlah lebih dekat: visi yang ada perlu menjawab kebutuhan tim.
Visi yang dimiliki Pak Happy sederhana, salah satunya adalah bagaimana menolong setiap anggota tim dapat menikmati pekerjaan yang dimiliki lewat deliberate rest. Hal ini bukan tanpa sebab; ada kebutuhan yang ditemukan di dalam tim setelah berjam-jam duduk bareng nongkrongin guru-staf di kantin.
Hasil obrolan, observasi, dan survei kecil-kecilan yang dilakukan menunjukkan adanya urgensi perubahan tatanan pekerjaan di sekolah. Dari yang terlihat, murid-murid memiliki keinginan untuk belajar yang tidak tinggi, terutama di jam-jam siang. Guru juga banyak mengeluh terkait pekerjaan yang tidak bisa selesai karena kurangnya waktu untuk menyelesaikan.
Ketimbang mengadakan seminar tentang motivasi belajar dan strategi mengajar di sekolah, Pak Happy memilih untuk mendobrak dengan cara yang tidak ortodoks: mengajak semua tim untuk beristirahat secara intensional dan memperlambat tempo bekerja. Sangat tidak masuk akal apabila dipikir sekilas, namun ternyata bermakna jika dikaji lebih dalam: Hal ini semata-mata untuk menyelamatkan sekolah agar tetap dapat beroperasi: murid-murid tidak dapat belajar dari guru yang memiliki tingkat stres tinggi.
Kebutuhan manusia tidak sesederhana yang kita lihat. Apa yang dirasakan dan dipikirkan orang belum tentu merupakan kebutuhan sejati. Pak Happy gemar memberi batasan antara felt need dan real need. Real need berada jauh di bawah permukaan dan seringkali tidak terpikirkan oleh pikiran dangkal manusia.
Seperti gunung es yang (sayangnya) jarang kita temui di Indonesia:
Kebutuhan ini dijabarkan dalam tingkatan oleh psikolog Amerika, Abraham Maslow: manusia memiliki sejumlah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum naik hierarki untuk mengejar lebih banyak kebutuhan sosial, emosional, dan aktualisasi diri.
Perlihatkan lebih jauh: visi yang ada dihidupi melalui keteladanan
Maka dari itu, yang bisa dilakukan oleh Pak Happy adalah menyadarkan guru-staf akan kebutuhan mereka untuk beristirahat, memberi waktu untuk memfasilitasi hal tersebut, dan memberi menunjukkan manfaat dari istirahat melalui keteladanan.
Setiap jam 1, beliau sendiri melakukan rest area dengan serius. Tanpa berusaha dilihat orang, Pak Happy setia melakukan bagiannya untuk menjadi teladan. Lambat laun beberapa early adopters mengikuti teladan beliau dan menularkannya kepada sebagian besar orang. Hari ini, setiap jam 1 siang, bahkan anak-anak pun saling mengingatkan untuk menikmati rest area dalam ketenangan.
Peran satu orang pemimpin dapat mempengaruhi seluruh tim jika keteladanan itu ditunjukkan secara nyata dan konsisten. Prinsip show, don’t tell membuktikan bahwa orang lebih terpengaruh dari apa yang dilakukan orang lain ketimbang dikatakan oleh orang lain. Maka dari itu, benar adanya bahwa ‘terang’ pengaruh pemimpin perlu diletakkan di atas (kaki dian) dan bukan di bawah (gantang). Kota yang jauh tidak akan tersembunyi.
Kita perlu sadar akan kenyataan bahwa manusia memimpin manusia lain; kita bukan sedang memimpin tulisan di atas kertas maupun robot. Manusia diciptakan begitu berharga dan rumit, jauh berbeda dari binatang dan tumbuhan (yang jika dipelajari dalam ilmu biologi pun sudah rumit adanya).
Paul J. Meyer, pendiri Success Motivation® Institute, Inc. memperkenalkan konsep ‘Roda Kehidupan’ (The Wheel of Life) yang mencakup enam hingga delapan aspek kehidupan yang berkaitan dan beragam intensitasnya di dalam hidup masing-masing pribadi.
Mari kita lihat contoh bagaimana The Wheel of Life terlihat:
Dari skala yang ada, roda di atas memiliki tingkat pemenuhan yang tinggi di bagian sports player, manager, dan health namun tidak begitu memuaskan di bagian team member, colleague, friend, dan mother/father. Artinya, dimensi yang tidak begitu terpuaskan perlu disoroti dan dipikirkan tentang rencana action plan apa yang bisa dikerjakan agar meningkatkan dimensi tersebut.
Memimpin Manusia Seutuhnya: tidak semudah menebar janji di forum diskusi
Kembali lagi kepada kontestasi presidensial yang akan kita hadapi sebentar lagi: perku kita kaji apakah pemimpin yang kita pilih nanti benar-benar mengerti apa yang menjadi kebutuhan pribadi di negeri ini.
Kita bukan lagi bicara soal kapabilitas berpikir dan berkelakar di media, kita bicara soal pemenuhan kebutuhan manusia yang kompleks demi mencapai Indonesia maju.
Jika pilihan kita belum menunjukkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan kita, bisa jadi itu karena kita sebagai masyarakat pun belum menunjukkan bahwa kita punya kebutuhan (real need) yang perlu diperhatikan.
Kemajuan Indonesia ada di tangan kita, mari sama-sama kita terus upayakan.