Mengapa Marah Atas Dasar Kasih Tidak Bermanfaat — sebuah refleksi
Aku bertumbuh dalam didikan generasi X dan generasi Y — gabungan antara pekerja keras dan angkatan tangguh yang mendidik dengan cara yang unik. Generasi X dan Y adalah buah dari didikan Silent Generation dan Baby Boomer, dua generasi yang notabene belum banyak mendalami hal-ihwal terkait parenting.
Situasi pasca perang membuat generasi-generasi ini mengalami kesulitan melihat skala prioritas dan kebutuhan. Banyak hal terpaksa harus ditolerir karena keadaan memaksa demikian: seperti makan terbatas, studi ala kadarnya, dan gaya komunikasi kolonial.
Meski bukan termasuk generasi yang mengalami perang, namun generasi X dan Y rupanya mendapat getahnya: di Indonesia, mereka jadi menganggap pendekatan kolonial sebagai suatu kesepakatan cara berkomunitas. Setidaknya itu yang aku amati dari orang-orang generasi X dan Y di komunitasku.
Mereka dengan bangga kerap kali menceritakan perjuangan mereka,
“Dulu kami lebih sengsara. Kamu belum ada apa-apanya.”
Sebagai hasilnya, mereka dengan mudah melabel generasi Z sebagai generasi yang manja, tidak tahu bersyukur, dan lembek.
Beberapa kali mereka membentak dan mendidik dengan keras atas dasar kasih. “Ini Mami lakuin supaya kamu ndak nakal lagi. Kami galak bukan karena benci, tapi karena sayang sama kamu!”
Ya, meski perih, aku dan teman-temanku harus melewati proses ini sampai suatu hari kami juga menginjak dewasa. Di usia 22, aku mulai bekerja sebagai guru di alma materku sendiri, Sekolah Kristen Lentera Ambarawa. Mau tidak mau, aku menemui guru-guru yang dahulu mengajarku — kini kami rekan kerja.
Tidak kusangka bahwa pandangan menjadi begitu berbeda saat aku sudah dewasa: ternyata dapur orang dewasa tidak sebersih itu. Orang tua yang nakal, orang dewasa yang seenaknya, guru yang tidak tertib bekerja ada di mana-mana. Belum lagi saat melihat realita bahwa keuangan di daerah tidak selancar di kota besar: gimana mau bertahan?
Tanpa aku sadari, aku membawa nilai-nilai yang sejak kecil kuterima.
I. Dulu aku (lebih) sengsara.
Mentalitas korban yang sering dikoar-koarkan oleh generasi di atasku membuat aku juga tertarik menerapkannya dalam hidup: aku jadi gemar dilihat sebagai orang yang sengsara.
Mengglorifkasi luka masa kecil, mengagung-agungkan penderitaan di masa lalu: itu adalah hal yang dibiasakan oleh orang dewasa di masa aku kecil yang ternyata mempengaruhi cara berpikirku hari ini.
Jika boleh jujur, aku sebenarnya tidak nyaman dengan hal ini.
Rasanya tidak pantas untuk terus-menerus berkubang dalam rasa sakit, mengekspos penderitaan masa lalu yang sebenarnya sudah tidak relevan hari ini. Namun apa daya, karena sudah membudaya, sukar untuk mengangkatnya.
Syukur, aku saat ini diberkati oleh tim konselor yang mendukung dan mendengar ceritaku secara personal sehingga menolongku mengikis budaya toxic ini dari diriku. Aku tahu bahwa harus dengan upaya keras untukku bisa melepaskan diri dari kebiasaan ini. Percayalah, jika ada kemauan, pasti ada jalan!
Ditambah lagi, teman-teman karib yang tetap mau menerimaku apa adanya menolongku untuk tidak lagi mencari validasi dari orang lain. Mereka menerima kenyataan bahwa aku dan mereka tidak sempurna. Kami sepakat menjadi rekan akuntabilitas yang mau saling mendengar dan mendoakan terlepas dari kesulitan yang kami hadapi. Kami berteman secara autentik.
Tersebar di seluruh penjuru dunia, teman-teman ini secara konsisten mengingatkanku bahwa TUHAN baik — dan manusia berdosa. Hanya anugerah TUHAN semata yang mampu mengangkat kita dari hamba dosa menjadi anak TUHAN. Maka dari itu, terlepas dari tantangan yang ada, lean on the Everlasting Arm. Yesaya 41:10.
II. Aku galak bukan karena benci, tetapi karena sayang.
Kasih seringkali dijadikan pembenaran untuk hal-hal buruk yang kita lakukan kepada orang lain, tanpa benar-benar mengkaji efektivitas penyampaiannya.
Menegur dengan keras di depan publik kita anggap mengasihi demi kebaikan dia, padahal hal itu mempermalukan dia dan konter-produktif.
Memukul anak dengan dalih mendidik kita anggap mengasihi demi rasa jera, padahal pelecehan fisik bisa membekas dalam memori seumur hidup.
Aku ingat betul di saat aku kecil, ada temanku dari Semarang datang ke rumah. Kami bermain dengan asyik sampai suatu saat aku membuat kesalahan. Secara cepat Mamiku meminta temanku itu untuk mengambilkan kemoceng dari tempatnya, siap memukulku di depan umum.
Satu yang kuingat sampai hari ini adalah, harga diriku runtuh.
Aku, anak yang sudah berusaha menjadi anak baik, tidak punya harga diri dengan pantatnya dipukul di depan temanku sendiri — yang aku hormati.
Orang tua mungkin menganggap hal ini sepele, tetapi ini membekas dalam diri anak dan dibawanya terus sampai dewasa.
Belum lagi cerita tentang keju, durian, film jumpscare, dan berbagai ‘gertakan’ lain yang aku terima di masa kecil. Semuanya membuatku jadi penakut dan ‘tidak bisa makan …’ karena gertakan yang aku terima di masa kecil.
Sama halnya saat aku mencoba rol depan di kelas 3. Ibu guru yang saat itu terkenal cukup galak — dan orang menganggap kegalakannya adalah hal wajar dilakukan seorang guru — menertawakan gerakanku yang tidak mampu rol depan dengan sempurna. Dengan kuasanya sebagai guru, ia meminta satu kelas percaya bahwa aku adalah seorang olahragawan yang payah, membuatku urung berolahraga hingga kelas 12 SMA.
Tanya pada teman-teman SMAku, betapa buruk aku di kelas olah raga — terkhusus senam lantai. Aku bisa menangis dan menjerit keras di depan matras sampai guru olah raga berbelas kasih menganulir penilaianku. Semua sesederhana karena cemoohan yang guruku lontarkan.
Perih, ya baca bagian ini.
Tenang saja, aku sudah mengampuni mereka.
Aku tidak mau kalian ikut jengkel atau bahkan (jangan sampai) membenci mereka.
Aku menceritakan ini dengan terbuka supaya kamu sadar bahwa apapun yang kamu lakukan untuk anak kecil, bisa berpengaruh segitu besar — bagi sebagian orang.
Untuk konteks, aku adalah seorang pengingat yang ulung. Psikolog mengatakan kapasitas otakku melebihi rata-rata, mampu mengingat, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dengan baik. Bukan kebetulan ingatan yang aku punya adalah campuran dari ingatan baik dan buruk. Sayangnya, otak amygdala kita cenderung menekankan hal-hal buruk saja — itulah kenapa kita lebih gemar mendengar berita buruk ketimbang hal baik.
Ya, sudah.
Terkhusus untuk anak kecil, aku mohon BERHENTI ANGGAP MEREKA SETENGAH MANUSIA.
Meski perkembangan fisik, mental, dan spiritual mereka belum optimal, tetapi mereka adalah manusia seutuhnya yang sedang berkembang.
Segala bentuk reinforcement, baik positif maupun negatif, akan berdampak signifikan kepada tumbuh kembang manusia itu.
Penghinaan publik yang dialami Hans Christian Andersen membuatnya menjadi seorang yang tertutup dan cenderung membenci dirinya sendiri. Namun kerinduan ayah kandungnya memperkenalkan Andersen kecil pada literatur membuatnya menjadi penulis cerita anak paling berpengaruh di abad itu.
Penerimaan dari ibu kandung Thomas Alfa Edison membuatnya tetap percaya bahwa dia berharga, meski dia diolok-olok satu sekolah sebagai orang aneh. Siapa sangka, hal itu membuatnya menjadi Bapak Inventor di zaman itu, membuat kita bisa bekerja di malam hari.
Izinkan aku menutup bagian ini dengan adil:
Meski orang tua dan guruku terbatas, mereka mengasihiku.
Konsistensi mereka takut akan TUHAN dan mau dibentuk serupa Kristus membuat aku terinspirasi utnuk menjadi serupa; aku akan studi Teologi juga karena mereka.
Kasih yang sempat tertranslasi dengan salah itu rupanya dibetulkan TUHAN sesuai dengan cara-Nya: mati di atas kayu salib, dihina dan dicecar orang, untuk aku dan mereka — orang berdosa yang tidak layak menerimma kasih. Namun karena kasih, TUHAN mengutus Yesus untuk menebus aku dan kamu yang berdosa ini, sehingga tidak ada lagi kuasa dari dosa yang membelenggu diriku dan kamu yang percaya. Justification is once and for all.
Apabila saat ini kita masih berdosa, itu tandanya kita perlu sanctification setiap hari. Bertobat memang tiap hari. Proses tiada henti.
The mistranslated love is corrected by GOD through His sacrificial way on the cross, to redeem you and me.