Terjajah atau Merdeka: Sebuah Refleksi terhadap Sistem Pendidikan Nasional

Eleazar Evan Moeljono
4 min readOct 16, 2024

--

Pergantian pemerintahan tinggall hitungan hari.

Suara masyarakat semakin terdengar jelas, mengharapkan Menteri Pendidikan diganti.

“Kembalikan peraturan yang dulu!”

“Zonasi? Lebih baik ada sekolah unggulan supaya anak lebih semangat belajar.”

Semakin mendengar suara-suara begini, semakin penasaran aku dengan gambaran asli negeri ini: apakah kita benar-benar sudah merdeka?

Berdasarkan pendengaranku dari percakapan di berbagai tempat, rupanya Kurikulum Merdeka sejatinya dianggap tidak memerdekakan.

Penghapusan UN dan high-stake testing dianggap mengancam daya juang murid.

Hadirnya kata “menyenangkan” di pembelajaran ditakutkan menimbulkan generasi yang tidak tangguh. Liar.

Ketiadaan sekolah unggulan disalahkan sebagai biang kerok repotnya emak-emak mengurus pembelajaran anaknya.

Hadeuh…

Tiga tahun yang lalu aku mengikuti pembelajaran penyusunan kurikulum di UPI Bandung. Di kelas, kami diajarkan berbagai macam metode penyusunan kurikulum (yang ideal) dari para pakar pendidikan global.

Salah satu yang aku paling sukai adalah model kurikulum Oliva.

Meski tahapannya banyak, 12 langkah menyusun kurikulum ini masuk akal bagiku.

Dimulai dari filosofi pendidikan yang menjadi arah jangka panjang pembelajaran. Ini harus jelas DAN diketahui seluruh lapisan pelaku pendidikan.

Dilanjutkan dengan spesifikasi kebutuhan, menyesuaikan konteks pembelajar dan penyedia belajar. Baik murid maupun sekolah butuhnya apa?

Tujuan kurikulum: ini yang banyak dipermasalahkan masyarakat kita. Kurikulum Merdeka tujuannya supaya liar, kan ya? Ga jelas?!

Di tahap berikutnya kamu bisa baca sendiri apa yang harus dilakukan.

-menghela nafas-

Begini pendapatku:

Saat ini kita tengah berada di zaman yang penuh tantangan. Disrupsi teknologi mengancam cara kerja otak yang berpotensi brain rot karena terdistraksi setiap 2 detik. Peluang perdagangan internasional bisa jadi ancaman apabila kita tidak memiliki kapabilitas berdagang di tingkat global. Belum lagi semakin parahnya ketimpangan ekonomi struktural di tingkat nasional.

Kebutuhan inilah yang dilihat para penyusun Kurikulum Merdeka sehingga menghadirkan banyak gebrakan yang tidak biasa. Dianggap tidak lumrah, kurikulum ini mengizinkan proses belajar di luar pola lama – alhasil banyak penolakan. Siapa sangka, sejatinya kurikulum ini adalah buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang saat itu tengah dibuang di pengasingan di Eropa!

Tiga tokoh yang memberi pengaruh terhadap filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Berkat pengaruh dari Rabindranath Tagore (India), Maria Montessori (Italia), dan Friedrich Fröbel (Jerman), Ki Hadjar Dewantara mencetuskan filosofi Merdeka Belajar di masa sebelum kemerdekaan.

Harapannya saat itu, pendidikan dapat menjadi sarana memerdekakan penduduk dari penjajahan dengan cara pembentukan karakter manusia yang memanusiakan, guru yang mengayomi, serta pemikiran yang mencerahkan. Coba baca lebih lanjut di jurnal ini.

Sayangnya, saat itu rakyat Indonesia belum melihat hal itu sebagai prioritas. Alih-alih bicara pendidikan, untuk makan saja butuh perjuangan. Kemiskinan menjadi salah satu masalah yang paling dirasakan.

Alhasil, saat memimpin sebagai Menteri Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menerima respons pahit yang memaksanya turun dari jabatan setelah dua bulan di kepemimpinan.

Kembali ke masa sekarang, aku belum banyak melihat perubahan.

Secara mendasar, rakyat Indonesia masih menunjukkan prioritas kebutuhan yang sama dengan 80th yang lalu: “Boro-boro mikir pendidikan, secara finansial kami masih punya tanggungan!”

Tingginya angka pinjol menjadi pertanda bahwa sistem ekonomi kita belum mampu mengakomodir pendidikan yang memerdekakan. Kejauhan.

Pendidikan yang dibutuhkan Indonesia sekarang ya yang ROI-nya cepat. Lulus, kerja bagus, banyak fulus.

Kalau harus jujur, seberapapun aku hormat dan kagum dengan kinerja Kemendikbud di bawah kepemimpinan Mas Nadiem, aku menyayangkan Mas Nadiem belum menekankan satu hal: komunikasi empatik.

Mas Nadiem belum tentu paham artinya hidup dengan saldo di bawah Rp100.000,- menjelang gajian.

Mas Nadiem susah mengerti sulitnya jadi warga biasa di pelosok dengan sinyal internet terbatas.

Ya gimana, ortunya tajir melintir. S1 di Brown University, S2 di Harvard University. Dua-duanya Ivy League, kampus top yang isinya juga mahasiswa top.

Meski aku tahu tim Kemendikbud dan GovTech Edu sudah berupaya duduk sama rendah dengan guru di pelosok & murid di daerah, namun narasi yang dikomunikasikan ke masyarakat terkait Sistem Pendidikan Nasional belum mendarat dengan mulus ke telinga masyarakat jelata.

Curhat dikit, aku yang ada di lapangan harus menjelaskan esensi Kurikulum Merdeka berulang kali ke guru dan ortu yang belum paham; itu pun masih belum berhasil.

Tim Kemendikbud berkesempatan berbagi praktik baik pemanfaatan teknologi dalam mendukung transformasi pendidikan di Indonesia dalam diskusi Global Education Leaders Partnership (GELP).

Sementara karya perubahan Kemendikbud kita diakui dunia, rakyatnya sendiri masih bertanya-tanya.

Aku tidak mau membayangkan rakyat Indonesia terus-menerus terjajah. Terjajah oleh yang berkuasa. Terjajah oleh jebakan pemikiran lama.

Sebentar lagi pemerintahan Indonesia berganti.

Alih-alih membiarkan penjajahan terulang kembali, mari kita bersinergi.

Perdebatan ayam-telur antra ekonomi dan pendidikan sudah tidak perlu kita adu. Ayo, gerakkan perubahan supaya keduanya maju.

Pendidikan terbukti dapat mendorong kemajuan ekonomi. Begitu pula ekonomi yang kuat berimbas pada pengembangan pendidikan yang signifikan.

Menurutku, yang namanya sistem tidak bisa mengandalkan satu pihak semata. Pemimpin memang memberi arahan, tapi jika kita tidak bergerak, arahan itu hanya akan jadi isapan jempol belaka.

Yuk, bangun ekosistem pendidikan yang memerdekakan. Filosofinya sudah jelas, namun kita perlu menyesuaikannya dengan keadaan: kalau sekarang isu terbesarnya adalah ketimpangan pendapatan, ayo kerjakan bagian kita untuk mewujudkan perubahan!

Aku melihat beberapa dekade mendatang, bangkit satu generasi yang sudah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah: akibat pendidikan, mereka mampu berpikir dan berkarkya dengan baik sehingga menghasilkan iklim kerja yang akomodatif terhadap pertumbuhan pendapatan. Alhasil, pendidikan kita pun bisa maju secara nasional, mengecilkan jarak antara sekolah swasta mahal dengan sekolah negeri.

Inilah yang aku yakini.

--

--