Tulus Ikhlas Saja Tidak Cukup
Izinkan aku menekankannya, your genuine intention is not enough.
Menghabiskan enam hari lima malam di Pulau Flores, NTT, mengajarkanku suatu kenyataan pahit tentang dunia pelayanan sosial (termasuk pendidikan). Hidup sulit. Semua serba terbatas. Akses ke mana saja jauh dan medan perjalanannya jelek, sangat jelek.
Namun aku di sini bukan untuk mengeluh, karena justru aku belajar banyak dari lima saudara baru yang aku dapatkan di perjalanan Flores kali ini: Kak DevMon, Kak Diah, Kak Ikram, Kak Edel, dan Kak Angel.
Mereka bersatu di sebuah organisasi sosial yang bergerak di bidang literasi, namanya Taman Bacaan Pelangi (TBP). Sejak pendiriannya, TBP sudah membuka 250 perpustakaan di 18 pulau Indonesia Timur. Sungguh, kesempatan berbagi keringat dan tawa bersama mereka sepakan terakhir adalah sukacitaku di Bulan Juni.
Sempat ku bertanya dalam hati, “Mengapa ya mereka mau hidup lebih susah di organisasi ini? Aku yakin mereka bisa dan sebetulnya perlu menjalani kehidupan yang lebih layak di kota besar.”
Sampailah aku dan sahabat seperjalananku di Bandar Udara Ende, Flores bagian Selatan.
Pertanyaanku terjawab ketika aku menyaksikan langsung bagaimana para kakak secara sinergis membawa kehangatan dalam bercengkerama; saling membuka candaan lucu dan selalu melihat sisi positif dari suatu keadaan.
Keterbatasan justru jadi bahan tertawa paling keras ketika kami berbagi cerita pengalaman di NTT ini. Ada yang terjatuh di aspal, masuk ke sungai, diciprat kotoran sapi, dan masih banyak lagi cerita menyedihkan yang dibungkus sukacita yang mereka bagikan.
Aku sempat berpikir, “Mungkinkah mereka dalam fase denial?”
Karena sepertinya jika aku jad mereka, aku akan lebih banyak komplain daripada menjadikan keterbatasan itu sebagai cerita lucu.
Namun, sore ini aku menyadari dua hal:
1. Resiliensi adalah kemampuan menghadapi krisis
Awareness bahwa kita akan menghadapi krsis menolong kita untuk lebih sigap; dan fokus pada hal yang penting.
Berkumpulnya kakak-kakak ini di tim Taman Bacaan Pelangi salah satunya didorong oleh kesamaan visi bahwa suatu hari nanti Indonesia Timur bisa mengakses pengetahuan dengan aman dan nyaman, salah satunya di Perpustakaan Ramah Anak. Keterbatasan dan masalah adalah hal keniscayaan, dan energi kita yang terbatas mendorong pola pikir kita untuk letting go. Hakuna matata.
Oda, sahabat perjalananku kali ini, menjelaskan bahwa “Ya kalau sudah terjadi, mau gimana lagi?”
Kak Diah, koordinator pelayanan kami di NTT kali ini, mengatakan, “Daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan terang.”
Terdengar mudah, namun aku percaya mereka sanggup mengatakannya karena mereka sudah melalui proses pemahaman yang sulit dan panjang.
Inilah yang aku yakini dari penyadaran pertama ini: justru, resiliensi bukanlah seberapa kamu mengencangkan ototmu untuk mempertahankan sesuatu, melainkan seberapa kamu mampu melemaskan ototmu ketika kamu tahu krisis sedang terjadi.
Namun tentu kita perlu paham bahwa ini bukan berarti cuek sepenuhnya. Keseimbangan antara gas dan rem sesuai konteks menentukan seberapa kuat resiliensimu.
2. Masalah ini adalah masalah bersama
Mengerjakan projek literasi di NTT, Sulawesi, dan Papua melibatkan banyak kolaborasi di Taman Bacaan Pelangi. “Tidak bisa sendirian” adalah hal yang aku pahami dari melihat progres dari tim ini.
Saat aku mendengar kisah TBP dalam meresmikan ratusan perpustakaan ramah anak mereka, tim dari Bupati seringkali hadir.
Lukisan yang ada di perpustakaan pun dilukis oleh alumni ISI yang berasal dari NTT, dikoordinir oleh kepala sekolah masing-masing.
Mentoring yang dijalankan TBP pun melibatkan banyak pihak, termasuk aku dan Oda yang belum pernah hadir di Ende & Nagekeo sebelumnya.
Yakinlah, kamu bisa berpartisipasi walau tidak langsung.
Bukan hanya dalam penyelesaian masalah literasi Indonesia Timur, kamu juga bisa ikut mendoakan pemerintahan Indonesia yang akan memulai babak baru tahun ini.
Kamu juga bisa memikirkan pengembangan pelayanan kesehatan di daerah terpencil yang belum terjamah rumah sakit yang layak.
Kamu juga bisa ikut berdonasi untuk pengadaan panel surya di daerah belum terjamah listrik.
Kamu juga bisa hadir di tempat yang membutuhkan bantuan itu, dan mengalami sendiri kehidupan mereka untuk kemudian jadi kolaborasi jangka panjang.
Apapun itu, percayalah, kamu bisa terlibat.
Sayangnya sekarang hal ini hanya dianggap sebagai passion project beberapa orang pilihan yang memang terpanggil untuk menyelesaikan masalah. Padahal sebenarnya ini adalah tanggung jawab kita semua karena selama bumi ini masih menjadi planet yang kita huni bersama, masalah satu akan berkaitan dengan masalah lain.
Aku mengajak kamu yang membaca untuk memikirkan tiga opsi ini:
Doa
Bawalah permasalahan yang kamu temui kepada TUHAN dengan permohonan dan ucapan syukur.
Dana
Sisihkan anggaran pribadimu untuk menolong orang lain yang membutuhkan; bisa jadi mereka ada di sekitarmu! (Pembantu? Tetangga?)
Daya
Ikut berbagian langsung dengan lihat, pikir, tanya terkait situasi yang ada, serta komunikasikan pemikiranmu untuk membuka ruang kolaborasi.
Pertanyaanku, jika kita semua saling tolong-menolong menanggung beban, tidakkah beban ini akan terasa lebih ringan?
Terima kasih untuk Taman Bacaan Pelangi yang sudah memberi kesempatan bagiku untuk mewujudkan mimpi: melayani pendidikan di NTT. Apa yang sudah dikerjakan TBP sangat menginspirasiku saat ini dan masa depan!
Terima kasih untuk Oda yang rela meluangkan banyak hal untuk membuat program ini terlaksana dengan amat sangat baik! Memastikan aku gapapa adalah hal yang sangat menyentuh bagiku, thanks a ton!
Terima kasih untuk para nona yang mau secara aktif mengikuti workshop satu hari kita di perpustakaan dan pantai. Semoga suatu hari nanti mimpi kita semua bisa terwujud sesuai timing dan caranya TUHAN.
Terima kasih untuk semua sponsor yang sudah membuat hal ini mungkin. Tanpa dukungan dana dan moral kalian, perjalanan NTT ini hanya akan jadi wacana.
Terima kasih diriku yang percaya bahwa semua ini adalah rencana TUHAN dan bukan rencana kecelakaan.